Suatu hari di tahun 1964 Marsekal TNI (Purn) Sukardi
pernah mendapat sebuah tugas untuk menerbangkan pesawat C-130B Hercules ke
Hongkong untuk sebuah misi. Saat itu ia sampai pada ketinggian 31.000 kaki di
atas Laut China Selatan pukul 05.30 waktu Vietnam.
Tiba-tiba terdengar laporan lewat interkom dari seorang
loadmaster di belakang. Dengan nada mendesak, ia melaporkan bahwa di sebelah
kanan sayap ada pesawat jet fighter mendekat.Loadmaster lainnya
dengan suara panik melaporkan juga bahwa pesawat kami diikuti fighter dari
sebelah kiri. Jadi, ada dua pesawat tempur yang mengapit pesawat kami. Keduanya
tidak mau menyebutkan identitasnya.
Laporan melalui interkom itu terdengar pula oleh seluruh kru
di kokpit. Kopilot dan navigator melihat ke sebelah kanan, sedangkan Sukardi
yang duduk di kursi captain memandang ke area depan dan sebelah kiri. Kolonel
Udara Wisnoe Djajeng yang ikut dalam penerbangan ini juga memperhatikan situasi
di sekeliling pesawat. Pesawat Hercules ini lepas landas dari Lanuma Halim
Perdanakusuma pukul 02. 00 dini hari.
Sukardi mencoba untuk melakukan kontak radio dengan harapan
dapat berkomunikasi dengan pesawat lain itu. Ia mengabarkan bahwa pesawat yang
ia bawa adalah pesawat Hercules AURI dalam perjalanan dari Jakarta ke Hong
Kong. Tidak ada maksud atau tujuan jelek.
Sambil menunggu jawaban, suasana di kokpit tegang karena apa
pun bisa bisa terjadi dalam hitungan detik. Sukardi pun melakukan tindakan
sesuai prosedur internasional sebagai tanda “tidak bermusuhan” dengan
beberapa kali menggerakkan sayap.
Pesawat fighter yang di sebelah kanan
ternyata adalah F-4 Phantom II, yang kemudian mendekat sampai dekat sekali
untuk beberapa waktu. Lantas pesawatpeel off, belok kanan dan menukik ke
bawah, lalu menghilang. Yang di sebelah kiri, pesawat dengan jenis sama, juga
melakukan hal serupa, kemudian menghilang. Hal itu dilaporkan oleh kedua loadmaster yang
bertugas di tempatnya, di kompartemen kargo.
“Bravo… bravo! Selamat, Capt…selamat!” teriak kedua loadmaster di
interkom dengan nada gembira. Kegembiraan itu juga terlihat di kokpit.
Muka-muka yang tadi terlihat pucat berubah menjadi cerah.
Matahari mulai menampakkan diri. Cuaca makin terang. Hati
Sukardi masih bertanya “Apa yang terjadi?” “Ada apa?” Kepada
navigator asal Tuban itu saya minta agar radar sedikit diarahkan ke Laut China
Selatan.
Ternyata di laut sana tampak iring-iringan kapal laut.
Puluhan kapal besar, sedang, dan kecil, sedang melintas mendekati Vietnam. Kala
itu memang Perang Vietnam sedang menghebat. Amerika Serikat dan sekutunya
tengah meningkatkan serangan ke Vietnam, baik dari darat, laut, maupun udara.
Ternyata pesawat Hercules itu menerjang kawasan udara di
atas konvoi Angkatan Laut AS yang sedang menuju Vietnam Selatan. Ruang udara di
atas konvoi militer artinya merupakan wilayah terlarang bagi semua pesawat
terbang. Siapa pun tanpa pandang bulu yang melanggarnya bisa ditembak jatuh.
Mungkin pilot pesawat AL AS yang bertugas melakukan air
cover bisa mengenali identitas AURI dan tulisan “Indonesian Air
Force” di tubuh pesawat Hercules itu.
Sambil melanjutkan penerbangan ke Hong Kong, pertanyaan lain
melintas. “Mengapa flops (flight operations) di Bandara Kemayoran, Jakarta,
sewaktu briefing menjelang keberangkatan tidak memberikan warning kepada kami? Navigator
asal Tuban pun berbicara, “Tidak ada (warning)!”
0 Response to "Kisah Pesawat Hercules Disergap Penempur di Vietnam"
Posting Komentar